Sabtu, 12 Januari 2008

Kepemimpinan dan korupsi

Ass.Wr.Wb
Dipagi yg berbahagia ini kita dapat berkumpul disini dalam suasana penuh harapan, semoga Jember kedepan akan menjadi lebih baik dari hari ini. Untuk itu dalam pertemuan pagi ini, saya akan menyampaikan beberapa hal. Karena saya selama ini menekuni, mencermati tindakan-tindakan birokrasi yang mengarah pada korupsi, maka saya akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dgn korupsi. Itu spesialisasi saya. Tetapi saya tidak akan sampaikan bukti-bukti tentang korupsi itu di forum ini, karena sy anggap tdk tepat, saya ingin menyampaikan kenapa gejala korupsi muncul. Dan itu saya hubungkan dengan kepemimpinan.
Silahkan menanggapi pendapat saya sebagai kritikan, atau himbauan atau apapun, tetapi saya anggap ini sebuah refleksi atau cermin. Dimana dengan cermin itu kita bisa berkaca, birokrasi bisa berkaca, Jember bisa berkaca, apakah bayangan dalam cermin itu, benar-benar bayangan kita dalam menata Jember kearah yang lebih baik. Kemungkinan bayangan yang saya bangun bisa salah, bisa meleset dari gambaran.

Menurut pengamatan saya, dalam penyelenggaran pemerintahan di era otonomi daerah ini, ada dua ranah besar yang saling jalin menjalin. Yang satu ranah hukum, ranah aturan-aturan yang diisi oleh semua aturan menyangkut tata pemerintahan, seperti keuangan, aturan kepegawaian, hubungan antar lembaga dll, yang ini standar dilaksanakan dalam penjabaran tupoksi-tupoksi oleh birokrasi. Yang kedua, adalah ranah politik, yang diisi oleh kepentingan tentang kesejahteraan masyarakat,atau kepentingan lain atas nama rakyat. Ranah aturan , pelaksananya birokrasi yang keputusannya secara professional sesuai aturan itu. Sedang ranah politik menghasilkan keputusan-keputusan politik yang bisa dilakukan oleh parlemen, bupati atau masyarakat sendiri, tetapi sebagian keputusannya harus didasarkan pada ranah aturan .
Maaf dalam hal saya tidak menggurui. Tetapi menurut saya, korupsi akan mudah terjadi jika birokrasi digeser kearah ranah politik. Pengalaman kepemimpinan yang lalu, hampir terjadi secara penuh politisasi birokrasi. Keputusan yang harus didasarkan pada ranah aturan digeser menjadi keputusan politik. Misal, mutasi pejabat dulu sering dilakukan, bahkan ada yang spektatuler, bukan didasarkan pada profesionalitas, tetapi kepentingan pejabat politik yaitu bupati atau kroni bupati. Mutasi yang sering, dan sifatnya dadakan memaksa birokrat takut, sehingga mereka dipaksa loyal pada pemimpin bukan pada sistim aturan-aturan. Loyalitas dibutuhkan bupati , yang selanjutnya dipakai untuk mengontrol, dana, informasi dan basis politik. Birokrat yang tidak loyal, tersingkir dari dari jabatan yang mestinya layak disandang. Bupati yang dulu juga membutuhkan loyalitas masyarakat, dengan cara membagi-bagikan uang yang sekarang sedang masih dalam proses persidangan.

Menurut saya, politisasi birokrasi, mengacaukan semua aturan-aturan, ini terbukti kacaunya sistim keuangan daerah, kacaunya sistim kepegawaian, Control yang seharusnya dilakukan oleh parlemen kacau, karena seluruh ranah aturan yang mendasari digeser pula ke ranah politik. Seluruh geser - menggeser ini ternyata instrumennya uang. ( maaf untuk birokrasi mungkin instrumennya pangkat ) Inilah motivasi yang mendasari terjadinya korupsi. Korupsi menjadi berjama’ah. APBD semata-mata menjadi instrument politik utk membangun loyalitas. Program-program, kegiatan-kegiatan utk melipatgandakan loyalitas terus menerus. Kalau semua loyal pada satu tangan, maka akan mudah dikendalikan utk kepentingan politik, termasuk mencalonkan bupati kembali.

Itulah pola kepemimpinan dulu. Bagaimana pola kepemimpinan sekarang ? Selama 2 tahun , saya mengamati ada pola yang bergeser. Ada sebagian masyarakat melalui mantan TS-TS masuk keranah birokrasi, dan ada sebagian birokrat masuk ke ranah politik. Gabungan keduanya menjadi loyalis baru, yang mengontrol sumberdaya politk. Loyalitas memang tidak berada pada satu tangan, tetapi tersebar kebeberapa tangan, kebeberapa bidang. Kalau itu didasarkan pada ranah aturan dan instrument aturan itu sendiri, tidak masalah. Tetapi kalau sudah ada instrumen uang yang bekerja, saya khawatir pola kepemimpinan hanya bergeser sedikit, tetapi motivasi korupsi akan terjadi kembali.

Maaf itu gambaran kasar saya, yang bersifat wacana-wacana. Ini hanyalah kekhawatiran saya untuk tidak terantuk pada batu yang sama, untuk kedua kali
Terima kasih.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pemimpin yang baik adalah selalu memberi contoh baik kepada followernya.. ada yang bilang leading by example.. semoga masih ada harapan menemukan pemimpin yang bersih..