( Anggota Latsar “MAHAPENA” UNEJ tahun 1983 )
Oleh : Suharyono
*Sekretaris KIP – SBY Kabupaten Jember *
*Koordinator Forum Komunikasi Anak Bangsa ( FKAB )*
*Wakil Ketua Kelompok Kerja Pemberantasan Korupsi ( KKPK )*
Pertengahan tahun 2003 dengan penuh semangat saya ingin melihat hutan – hutan yang lama saya tinggalkan, karena sebagai insan pecinta alam di masa kuliah dulu hutan yang lebat dan tumbuh dengan suburnya serta rindang membawa banyak inspirasi, namun alangkah terkejutnya melihat kenyataan bahwa hutan yang dulu aku tempati untuk camping dan senda gurau bersama kawan-kawan sesama pecinta alam, kini sudah mulai Gundul dan Gersang, sehingga menjadikan saya prihatin dan sedih karena dihutan Mrawan inilah saya banyak kenangan yang tidak bisa saya lupakan oleh ingatanku dimana pertama kali inilah saya mulai mengenal alam dan lingkungan, dalam benakku hanya ada betapa kayanya Negeriku ini dengan hasil hutannya, mulai dari tanaman perdu sampai ke tanaman pinusnya bila dikelola dengan baik dan benar.
Akhirnya dengan kenyataan ini saya berusaha berteriak kesana – kemari untuk mengembalikan hutan yang Gundul menjadi rimbun kembali, baik di Perhutani, KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) serta kawan-kawan pecinta alam tetapi tidak berhasil dan bahkan tak pernah digubris sama sekali. Saya mencoba kembali untuk menelusuri sungai dan hutan yang dulu sepengetahuanku sangat lebat, kembali saya tercengang dengan kondisi yang saya lihat betapa Gundul dan Gersangnya Hutan ini.
Besoknya kembali saya mulai menelusuri Sungai dan Hutan kembali dan ingin mengetahui sampai sejauh mana Gundulnya Hutan di wilayah Kabupaten Jember ini, perjalanan saya awali dari Silo ke Gunung Gumitir sebebelah utara dan saya lanjutkan ke selatan wilayah Merubetiri yang mana Hutan disini sudah mulai banyak pohon-pohon hutan ditebangi entah oleh siapa, yang jelas Merubetiri sudah mulai rusak. Perjalan terus saya lanjutkan ke Barat ke Mayang dan Mumbulsari di Sabuk Gunung kali mrawan sambil melihat aliran sungai yang diatasnya adalah Gunung yang dulu hijau royo – royo kini sudah menjadi pemandangan yang tidak mengenakkan mata karena Gundulnya Hutan dan tidak ada tanaman penyanggah untuk mencegah terjadinya longsoran, hanya ada 1 – 2 pohon yang tumbuh tegak dipucuk bukit itu tanpa daun, kembali perjalanan saya lanjutkan ke Tempurejo melewati desa Kalisanen terus agak ke Timur wilayah Sanenrejo yang mana pada tahun itu pernah ada banjir dari sungai Kali Mayang, disinilah saya melihat pemandangan yang begitu mengagetkan sekali karena Hutan di pinggiran Merubetiri sudah Gundul semua dan tragisnya bahwa pada tahun 1998 – 1999 terjadi penebangan hutan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat, namun anehnya informasi yang saya terima bahwa penebangan kayu tersebut tidak dilakukan oleh masyarakat setempat, melainkan dari luar wilayah Sanenrejo. Sepulang dari Sanen ini saya banyak menemui orang – orang bersepeda pancal membawa kayu dari hutan milik PTP ( yang merupakan jalan pintas menuju Gunung Hanoman )
Pada tahun yang sama saya mencoba lagi ke wilayah utara ( Arjasa ) saat ada banjir yang menjebolkan Dam Doplang di Desa Kamal Arjasa, saya melihat Gunung diarah barat, geleng – geleng kepala “Kenapa Hutan – hutan sekarang ini pada Gundul dan dimana – mana pada Gersang semua” pikir saya dalam hati, dua ( 2 ) hari kemudian saya mencoba untuk berteriak di salah 1 Media Elektronik (Radio Prosalina) karena melihat kenyataan banyaknya Hutan yang gundul, dan teriakan saya ini ditangkap oleh temen-temen pecinta lingkungan tetapi tidak tindak lanjutnya untuk melakukan penghijauan atau apalah namanya, hanya sekedar merespons dan menginformasikan pada masyarakat kalau memang banyak Hutan – hutan yang Gundul. Pikir saya “Ake tunggale nek ngono, aku iso tapi gak bergerak yo podo wae karo mbujuk”
Dan waktu terus berlalu sampai adanya demo masyarakat Curahnongko dan Curahtakir ke Perhutani yang didampingi oleh temen-temen dari LAPPAM dan IBW untuk memprotes perlakuan oknum Perhutani yang membakar rumah warga dipinggiran Hutan yang notabene adalah masyarakat yang sadar untuk melestarikan Hutan sambil berkebun untuk mengais rejeki dari hasil kebun.
Pada bulan Oktober tahun 2004 saya mencoba kembali bersama kawan saya yang juga anggota Perbakin Jember untuk melihat dan menelusuri Hutan dari arah Barat tepatnya dari Tanggul sebelah utara, kembali saya terheran – heran karena disinipun hutan – hutan juga mulai Gundul, terus saya saya ke Timur dan pemandangan di hutan – hutan sudah pada gundul semua hanya ditanami pohon pisang dan Jagung di puncak Pegunungan sampai dilereng-lereng Pakis dan Ketajik sebelah barat, 2 (dua) hari berikutnya saya bersama temen – temen dari Komite Independent Pemenangan ( KIP – SBY ) menuju Perkebunan Kalijompo dan menyusuri sungai Jompo yang bersih dan bening airnya, dan kami berbincang – bincangdengan Pak Santun dan Pak Sakidi penghuni lereng gunung yang notabene adalah petani Kopi (Pesanggem), saya mulai tertarik dengan cerita – cerita beliau yang dengan susah payah bagaimana dalam ikut melestarikan hutan diatasnya yang sewaktu – waktu longsor karena gundulnya hutan diatasnya, disinilah saya berpikir bahwa orang yang tidak tahu dunia luar saja mengerti dan paham tentang bagaimana caranya untuk melestarikan dan merasa memiliki hutan itu dan dengan berbagai cara mereka berusaha untuk menghutankan kembali hutan diatasnya sampai kepada pelaporan ini yang membuat saya terlecut untuk harus ikut juga melestarikan dan memberikan pemahaman kepada orang lain serta penyadaran tentang bagaimana sebenarnya dalam memperlakukan hutan pada masyarakat disekitar pinggir hutan dan dari sini saya mulai melakukan banyak penyadaran dan pemahaman dengan cara menyampaikan lambat laun walau hanya dengan kata – kata “Siapa yang bermain kayu akan dimakan oleh kayu” dan keberanian untuk supaya melaporkan pada penegak hukum bila melihat dan mendengar bila ada orang yang melakukan penebangan liar dihutan, dan ini saya lakukan dari desa kedesa disekitar pinggir – pinggir hutan dari sini juga saya sempat kaget bahwa kopi yang ditanam itu adalah miliknya dan sebagian disetor pada oknum Perhutani yang istilahnya adalah Pertelon/Target ( 1/3 diberikan pada oknum Perhutani ) yang membolehkan untuk menebangi kayu – kayu hutan untuk ditanami Kopi dan bahkan sampai saat ini penebangan masih terus dilakukan dan semakin banyak petani Kopi dengan syarat yang pertelon tadi, dan bahkan oknum Perhutani sekarang telah mempunyai hektaran Kebun Kopi di sepanjang sungai Kalijompo dilereng Pegunungan Hiang dan bahkan sampai ke Anaknya juga mempunyai Kebun Kopi (info dari para pekebun Kopi) dan bila ingin memiliki sekarang bisa menghubungi oknum tersebut dengan imbalan dan perjanjian seperti yang lain sudah bisa menanam Kopi dilereng Gunung itu, sepulang dari sungai jompo saya lanjutkan lagi ke atas melewati jalan menuju Kebun Rayap dan sempat dipuncak foto bersama sambil melihat terbenamnya Matahari, disini saya menemukan adanya retakan tanah disepanjang dimana kami duduki saat itu, kemudian kami melanjutkan perjalanan pulang lewat desa Klungkung terus tembus di belakang SLB Bintoro Kec. Patrang, besoknya saya dan temen – temen dari Laskar Seroedji serta sdr. Firdaus Zamir ( sekarang anggota Raung of Road 4 x 4 Jember ) menuju Gunung Pasang untuk melihat air Terjun Tantjak, sesampai di Kopian kami turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, lagi saya melihat kanan kiri hutan pada banyak yang sudah gundul, sesampai di Tantjak kami menikmati indahnya air Terjun yang merupakan salah satu andalan wisata Alam Kabupaten Jember, setelah itu saya terus lanjutkan lagi perjalanan keesokan harinya ke Perkebunan Kali Putih, lagi – lagi saya menemui gundulnya Hutan dan hanya ada tanaman Kopi milik Perkebunan dan yang atas ditumbuhi rumput alang-alang. Dan berikutnya saya bersama sdr. Firdaus Zamir melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Hiang tepatnya di dsun Tenap desa Panduman Jelbuk, lagi – lagi saya melihat pemandangan hutan Gundul diseluruh Gunung itu baik yang sebelah Timur, Utara dan Barat semuanya Gundul hanya ada Tanaman Padi dan Jagung, disini saya ditawari oleh warga untuk membeli lahan dilereng gunung dengan luasan ± 1 ha dengan harga Rp. 1 juta, disinilah saya mulai banyak tahu bahwa penebangan kayu itu juga melibatkan oknum Perhutani.
Akhir tahun 2004 masih bersama kawan – kawan dari KIP - SBY kami kembali ingin melihat pemandangan pantai Bandealit di wilayah Tempurejo melewati Blater terus masuk Andongrejo, saat kami mau masuk wilayah itu terlihat kembali di sebelah kanan Jalan Hutan Gundul dan bahkan sebelah kanan yang atas menurut informasi dari masyarakat juga sudah Botak ( karena adanya penebangan ditengah Gunungnya saja tetapi yang pinggir dibiarkan tumbuh lebat seolah – olah tidak terjadi penebangan liar ) disini juga menikmati alam laut selatan yang indah penuh pesona tersendiri dan tempat untuk kegiatan olah raga laut Surfing bagi Turis Manca yang merupakan Asset Pemkab Jember selain Watu Ulo. Dari semua perjalanan yang kami lalui sejak tahun 2003 – 2004 sendirian maupun bersama kawan – kawan menjadikan bahan diskusi yang sangat berharga namun dari pihak – pihak terkait tidak pernah menggubrisnya walau kami sudah teriak – teriak sehingga kami agak putus asa.
Tahun 2005 kami hanya mencoba untuk memberikan info-info tentang gundul nya hutan – hutan dibeberapa wilayah yang pernah saya ketahui dan sesekali masih melihat Sabuk Gunung Kalimrawan yang masih tetap seperti tahun lalu, tatpi pada akhir tahun Tgl. 31 Desember kami diberitahu anak-anak Laskar Seroedji bahwa Sungai Semangir Banjir lagi sampai menggenangi rumah penduduk di Mangli dan awal Januari tepat tgl. 1 Januari 2006 malam kami menuju Rambipuji karena ada info bahwa disana juga ada banjir lumpur sampai menggenangi rumah-rumah warga dipinggiran aliran sungai, akhirnya saya menuju Dam Bedadung di Rowotamtu dan terjebak disana sebab kearah utara saya tidak bisa karena air sudah menggenangi jalan raya setinggi ± 1 m, lalu saya mau lewat Balung ternyata di Gumelar air juga setinggi lutut dan akhirnya saya kembali ke Dam Bedadung menunggu surutnya air, baru jam 2 malam air surut tetapi yang di jalan masing selutut dan saya memberanikan diri untuk lewat serta pelan-pelan akhirnya saya sampai di Jembatan Rambipuji saat itu kendaraan sudah tidak bisa jalan karena luapan air sampai diatas jembatan.
Tgl. 2 Januari 2006 sampai akhirnya terjadilah BANJIR BANDANG DI PANTI tadi malam ( Tgl. 1 Januari 2006 ) sehingga saya dan anak – anak Laskar Seroedji melihat ke Kemiri dan akhirnya kami bersama anak – anak sepakat untuk membuat Posko Bencana Alam di Perempatan Mangli sebagai bentuk kepedulian kami terhadap sauadara-saudara yang tertimpa Bencana. Dalam kurun waktu berjalan dari hari ke hari saya dan temen – temen ingin melihat apa sebab dari Bencana tersebut, sampai kami dan temen – temen keluar masuk daerah – daerah yang terkena longsoran seperti di Keputren, Kalimanggis dan Ketajik, Kaliklepuh, Sentool dan Kalijompo serta di Jelbuk Desa Sumbercandi yang juga terjadi longsor, dari sini saya mulai lagi penelusuran apakah memang ada Illeggal Logging atau apa dan kami dapat informasi dari kawan kami bahwa di Gunung Pakil ada penebangan liar yang dilakukan oleh oknum mandor (orang kepercayaan) Perhutani, dan sudah dilaporkan oleh warga setempat kepenegak hukum dan kami melihat bahwa memang dilokasi yang ditunjukkan oleh warga masih terlihat berserakannya pohon – pohon Mindi yang baru beberapa hari yang lalu telah ditebang dan bahkan masih ada yang belum terangkut, barulah kami dan kawan-kawan menanyakan dari laporan warga tersebut tetapi sampai di Polsek Jelbuk dinyatakan tidak ada laporan warga tentang penebangan liar, lalu kami berusaha ke Polisi Hutan di Jelbuk yang bersangkutan masih ada dilapangan dan saat hujan sangat deras turun lagi sehingga kami dan kawan kawan numpang berteduh dirumah Dinas Polhut tersebut, sampai akhirnya keesokan harinya muncul berita di media tentang adanya penebangan liar oleh oknum mandor Perhutani. Pada keesokan hari saya kembali kekemiri sambil memberikan bantuan dari warga kami untuk para Pengungsi di Sodung, Tenggilis dan Kantong dalam perjalan kami ketemu dengan kawan-kawan dari Raung yang sejak awal membantu evakuasi korban bencana alam di Panti seraya bergurau dan muncul kata-kata guyonan dari kawan- kawan kalau tidak ada banjir dan longsor di Jember itu aneh, dan bila longsor itu sudah wajar karena memang hutan dimana – mana pada Gundul, karena dengan adanya Banjir di Panti ini terkesan hampir semua instansi saling menyalahkan satu sama yang lain. Pada akhir Januari saya bersama Daut dan Yudi Wartawan Memo mencoba untuk naik ke Ketajik terus ke Pakis namun sampai ditengah perjalan dan merupakan salah satu puncak di atas Dusun Cempaka ternyata banyak yang gundul dan bahkan puncak tersebut telah ditanami Padi dan Jagung oleh masyarakat sekitar, akhirnya kami terus kebarat menuju Pakis sampai disini Jam 14.30 wib hujan sangat lebat dan kami berteduh dirumah salah satu warga dan setelah agak terang kami melanjutkan perjalanan ke Ketajik II ( afdeling Kahendran ) berdua dengan Daut Wartawan Prosalina karena Yudi terus pulang ke Jember, lalu kami berdua melewati jembatan bambu yang menghubungkan Pakis dan Ketajik II dalam perjalanan kami melihat dipinggiran jalan banyak bekas tebangan pohon yang baru ± 2-3 bulan ditebang yang menurut info masyarakat ada 49 batang pohon yang ditebang diwilayah tersebut dan Jam 16.30 kami pulang melalui jalan itu lagi karena kwatir kemalaman. Kemudian tgl. 3 Pebruari saya dikontak oleh kawan bahwa di Kalijompo juga masih ada penebangan liar oleh masyarakat, siang itu saya menuju kesana untuk melihat apa memang benar ada penebangan liar dan perjalanan saya sampai di Batu Ampar sudah jam 12.30 dan cuaca gerimis sehingga kami tidak melanjutkan keatas karena cuaca dalam perjalan pulang saya juga menemukan kayu-kayu yang sudah dipotong dalam bentuk kotak-kotak dan sirap hal ini saya sampaikan pada saudara Darmanto salah satu kawan yang juga sama-sama perduli terhadap adanya penebangan liar tersebut. Beberapa hari kemudian saya dengan Darmanto menuju ke Durjo untuk melihat longsoran disana dan mendapat keterangan masyarakat pekerja disana bahwa longsoran yang terjadi bukan hanya karena adanya penebangan liar tetapi bisa juga karena faktor adanya Round Up ( membasmi alang – alang / rumput ) yang dilakukan oleh pihak kebun sejak bertahun - tahun yang lalu dan ini tidak saja dilakukan disini tetapi kebun-kebun yang lain juga menggunakan hal yang sama karena untuk membunuh rumput sampai keakarnya serta lebih efisien dan lebih murah, disamping itu juga tanah menjadi subur, sampai akhirnya kami juga dapat info bahwa di Pakis saat itu juga ada penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Pakis atas dan kami terheran-heran kenapa kondisi masih seperti ini kok berani menebang pohon dihutan....??
Sehingga kami mempunyai pemikiran untuk kedepan dalam penanggulangan bencana dan kerusakan hutan ini bukan saja menjadi tanggung jawab seperti Perkebunan, Perhutani dan Ulama setempat, dalam penyadaran dan pemahaman tentang bahayanya penebangan liar di hutan pada masyarakat melainkan tanggung jawab kita bersama dan yang paling penting adalah BAGAIMANA MENGHUTANKAN KEMBALI HUTAN sebagaimana mestinya kemiringan seperti : 0 - 5º untuk Persawahan, 5 - 15º untuk Perkebunan, 15 - 25º untuk Hutan Produksi dan 25º keatas adalah untuk Hutan Lindung sehingga dalam hal ini semua pihak/komponen antara lain ; Perkebunan, Perhutani, Tokoh-tokoh Masyarakat, Ulama, Kiai, Politikus, DPRD dan Pemkab, TNI serta para Pecinta Alam dan Lingkungan untuk duduk satu meja membuat komitmen bersama, sehingga Banjir dan longsor seperti di Panti tidak terulang kembali pada wilayah-wilayah lain di Kabupaten Jember ini. Dan pemikiran ini saya sampaikan pada saudara Bambang Irawan dari ELPAMAS terus disampaikan kepada KH. Hamid Hasbullah untuk disampaikan pada pertemuan LPAI di Mumbulsari dan disambut dengan baik oleh Ulama dan para Kiai – kiai muda serta saya sampaikan pula pada salah satu anggota Pansus Bencana Alam di DPRD Kabupaten Jember.
LAND HUISE PLANNING
Sumber : Kementerian Agraria yang dihapus ± th 85 – 86 menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Supremasi Hukum
Terkait dengan menghutankan kembali hutan tak lepas dari pada penegakan hukum dimana sampai saat ini dalam penegakan hukum masih dalam taraf yang sangat memprihatinkan dan kurangnya keadilan dalam menegakkan hukum yang ada. Sejak beberapa tahun yang lalu saya mendengar minimnya para penebang liar sampai dimeja hijaukan dan kalaupun ada hanya sebatas pada mereka – mereka yang kelas teri atau kelas sepeda pancal, para pemodal / cukongnya tidak pernah tertangkap ini yang memprihatikan saya dan kawan – kawan dalam setiap diskusi masalah pada pene gakkan hukum walaupun ada pelaporan dari masyarakat soal adanya penebangan liar selalu kandas dan menemui jalan buntu, sehingga banyak pertanyaan dari masyarakat yang sampai kini belum pernah saya bisa menjawab dan pertanyaan itu antara lain “ Apakah oknum Perhutani, Perkebunan, Polisi, TNI, Jaksa dan Pengadilan bahkan Kiai dan Ulama ikut juga terlibat.....??? ini yang sulit saya jawab sampai sekarang ini. Sehingga ini menjadi benang kusut yang tidak pernah terurai dengan jelas dan pasti dan banyak lagi pertanyaan – pertanyaan yang saya terima dari masyarakat terkait dengan persoalan kayu ini. Perjalan dari waktu ke waktu persoalan penebangan liar ini marak saat reformasi yang lalu dan penebangan liar besar – besaran dimana – mana seolah – olah hutan ini miliknya sendiri tanpa melihat dampak yang diakibatkan, sampai pada akhirnya adanya Banjir di Panti Jember dan Banjarnegara inilah penebangan liar menjadi perhatian dari Pemerintah Pusat, kenapa baru sekarang hal ini menjadi perhatian khusunya Illegal Logging apakah memang hukum di Indonesia seperti ini, bila terjadi baru ada tindakan..? dan bahkan saat Banjir Bandang di Panti marak dengan adanya Razia kayu ilegal dengan sandi Wana Lestari. Dengan adanya Banjir di Panti menambah keberanian masyarakat tumbuh lagi untuk melaporkan adanya penebangan liar ini, terbukti dengan laporan masyarakat ini pihak kepolisian telah banyak memeriksa dan menangkap para Pengusaha dan penebang liar untuk dimintai keterangannya terkait keberadaan kayu yang dimilikinya, seperti kayu yang ada di Gunung Pakil Jelbuk, Kalijompo, Dukuh Mencek, Pakis dan Tanggul satu per satu mereka dimintai keterangannya dan bahkan sampai ada tersangkanya dan ditahan di Kepolisian Resort Jember, dan bahkan ada pengusaha besar yang dijadikan tersangka karena kurangnya kelengkapan surat - surat yang dimilikinya sebagai pengusaha dan pengolahan kayu, ada juga pertanyaan yang sempat saya terima dari sebagian masyarakat “Mengapa baru sekarang ada penangkapan pada pengusaha tersebut, kok tidak dulu – dulu, apa karena ada anggotanya yang terlibat......???” dan bagiamana seperti yang ada diwilayah selatan...??
Dari kejadian – kejadian ini perlu adanya Efek Jera bagi siapa saja yang melanggar, agar supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi dan perlu adanya penyuluhan dan pemahaman dari semua pihak dalam ikut serta mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya seperti Land Huise Planing atau penggunaan tata letak hutan yang benar yang dianjurkan sejak zaman Belanda dulu. Dan disamping itu perlu juga penegak hukum seperti Kepolisian, Jaksa dan Pengadilan juga harus mempunyai Komitmen yang jelas untuk melibas siapa saja yang terlibat harus ditindak tegas yang melakukan penebangan liar dan perusakan hutan agar menjadikan jera bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan dikemudian hari. Sudahkah dijalankan....?
Supremasi Hukum
Terkait dengan menghutankan kembali hutan tak lepas dari pada penegakan hukum dimana sampai saat ini dalam penegakan hukum masih dalam taraf yang sangat memprihatinkan dan kurangnya keadilan dalam menegakkan hukum yang ada. Sejak beberapa tahun yang lalu saya mendengar minimnya para penebang liar sampai dimeja hijaukan dan kalaupun ada hanya sebatas pada mereka – mereka yang kelas teri atau kelas sepeda pancal, para pemodal / cukongnya tidak pernah tertangkap ini yang memprihatikan saya dan kawan – kawan dalam setiap diskusi masalah pada pene gakkan hukum walaupun ada pelaporan dari masyarakat soal adanya penebangan liar selalu kandas dan menemui jalan buntu, sehingga banyak pertanyaan dari masyarakat yang sampai kini belum pernah saya bisa menjawab dan pertanyaan itu antara lain “ Apakah oknum Perhutani, Perkebunan, Polisi, TNI, Jaksa dan Pengadilan bahkan Kiai dan Ulama ikut juga terlibat.....??? ini yang sulit saya jawab sampai sekarang ini. Sehingga ini menjadi benang kusut yang tidak pernah terurai dengan jelas dan pasti dan banyak lagi pertanyaan – pertanyaan yang saya terima dari masyarakat terkait dengan persoalan kayu ini. Perjalan dari waktu ke waktu persoalan penebangan liar ini marak saat reformasi yang lalu dan penebangan liar besar – besaran dimana – mana seolah – olah hutan ini miliknya sendiri tanpa melihat dampak yang diakibatkan, sampai pada akhirnya adanya Banjir di Panti Jember dan Banjarnegara inilah penebangan liar menjadi perhatian dari Pemerintah Pusat, kenapa baru sekarang hal ini menjadi perhatian khusunya Illegal Logging apakah memang hukum di Indonesia seperti ini, bila terjadi baru ada tindakan..? dan bahkan saat Banjir Bandang di Panti marak dengan adanya Razia kayu ilegal dengan sandi Wana Lestari. Dengan adanya Banjir di Panti menambah keberanian masyarakat tumbuh lagi untuk melaporkan adanya penebangan liar ini, terbukti dengan laporan masyarakat ini pihak kepolisian telah banyak memeriksa dan menangkap para Pengusaha dan penebang liar untuk dimintai keterangannya terkait keberadaan kayu yang dimilikinya, seperti kayu yang ada di Gunung Pakil Jelbuk, Kalijompo, Dukuh Mencek, Pakis dan Tanggul satu per satu mereka dimintai keterangannya dan bahkan sampai ada tersangkanya dan ditahan di Kepolisian Resort Jember, dan bahkan ada pengusaha besar yang dijadikan tersangka karena kurangnya kelengkapan surat - surat yang dimilikinya sebagai pengusaha dan pengolahan kayu, ada juga pertanyaan yang sempat saya terima dari sebagian masyarakat “Mengapa baru sekarang ada penangkapan pada pengusaha tersebut, kok tidak dulu – dulu, apa karena ada anggotanya yang terlibat......???” dan bagiamana seperti yang ada diwilayah selatan...??
Dari kejadian – kejadian ini perlu adanya Efek Jera bagi siapa saja yang melanggar, agar supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi dan perlu adanya penyuluhan dan pemahaman dari semua pihak dalam ikut serta mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya seperti Land Huise Planing atau penggunaan tata letak hutan yang benar yang dianjurkan sejak zaman Belanda dulu. Dan disamping itu perlu juga penegak hukum seperti Kepolisian, Jaksa dan Pengadilan juga harus mempunyai Komitmen yang jelas untuk melibas siapa saja yang terlibat harus ditindak tegas yang melakukan penebangan liar dan perusakan hutan agar menjadikan jera bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan dikemudian hari. Sudahkah dijalankan....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar